Konservasi: Tiga pilar ala Menteri Susi terhadap kelestarian laut Indonesia
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti |
Dulu, Indonesia dikenal sebagai macan Asia. Dengan kekayaan alam yang berlimpah dan demografi yang besar, Indonesia digadang-gadang akan dengan cepat melesat menjadi negara maju.
Pendiri Singapura Lee Kuan Yew, dalam bukunya yang berjudul One Man's View of The World mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber alam melimpah. Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju.
Namun faktanya, Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Bahkan seiring waktu, satu per satu kekayaan alam Indonesia justru habis tanpa menciptakan kemakmuran pada generasi-generasi berikutnya.
Pada 1970-an, negara-negara net eksportir minyak termasuk Indonesia menikmati booming minyak bumi. Namun, itu tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk membangun negeri. Sekarang, ironisnya, Indonesia justru menjadi net importir minyak.
Pada 1980-an, Indonesia kembali kehilangan kesempatan dari booming kayu. Saat itu, hutan dibabat dan kayunya dijual secara besar-besaran. Kini, yang tersisa hanyalah hutan-hutan rusak nan gundul.
Dekade berikutnya, lagi-lagi Indonesia tidak mampu membangun fondasi ekonomi yang kuat dari booming tambang dan batubara. Padahal, lahan-lahan telah dikeruk, menyisakan bencana bagi generasi berikutnya.
Akibatnya, hingga kini Indonesia tetaplah menjadi negara medioker dengan pendapatan per kapita hanya Rp 47,96 juta per tahun atau sekitar Rp 4 juta per bulan, jauh lebih kecil dibandingkan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Jumlah orang miskin di Indonesia juga cukup besar, mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari jumlah total penduduk.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Itu karena bangsa ini tidak pernah berupaya mengimplementasikan prinsip tiga pilar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan selama ini bisa dibilang hanya sekadar mitos.
Sektor minyak dan gas (migas) Indonesia saat ini didominasi perusahaan-perusahaan asing. Begitu pula sektor tambang.
Di sektor-sektor tersebut, Indonesia sulit dikatakan berdaulat. Indonesia belum bisa mandiri dan memegang kendali penuh atas pengelolaan sumber daya di sektor migas dan tambang.
Selain tak mandiri, pengelolaan sumber daya alam juga cenderung mengabaikan kelestarian. Pohon yang dibabat jauh lebih banyak dari yang ditanam. Sementara pejabat korup dengan mudahnya memberikan konsesi pemanfaatan hutan dan izin tambang tanpa memperdulikan daya dukung dan kelestarian lingkungan.
Pengelolaan sumber daya alam yang tak berdaulat dan tak berkelanjutan sudah pasti tidak akan bisa mensejahterakan masyarakat banyak. Bahkan, masyarakat di sekitar areal tambang dan hutan, banyak yang hidup miskin.
Pendiri Singapura Lee Kuan Yew, dalam bukunya yang berjudul One Man's View of The World mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber alam melimpah. Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju.
Namun faktanya, Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Bahkan seiring waktu, satu per satu kekayaan alam Indonesia justru habis tanpa menciptakan kemakmuran pada generasi-generasi berikutnya.
Pada 1970-an, negara-negara net eksportir minyak termasuk Indonesia menikmati booming minyak bumi. Namun, itu tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk membangun negeri. Sekarang, ironisnya, Indonesia justru menjadi net importir minyak.
Pada 1980-an, Indonesia kembali kehilangan kesempatan dari booming kayu. Saat itu, hutan dibabat dan kayunya dijual secara besar-besaran. Kini, yang tersisa hanyalah hutan-hutan rusak nan gundul.
Dekade berikutnya, lagi-lagi Indonesia tidak mampu membangun fondasi ekonomi yang kuat dari booming tambang dan batubara. Padahal, lahan-lahan telah dikeruk, menyisakan bencana bagi generasi berikutnya.
Akibatnya, hingga kini Indonesia tetaplah menjadi negara medioker dengan pendapatan per kapita hanya Rp 47,96 juta per tahun atau sekitar Rp 4 juta per bulan, jauh lebih kecil dibandingkan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Jumlah orang miskin di Indonesia juga cukup besar, mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari jumlah total penduduk.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Itu karena bangsa ini tidak pernah berupaya mengimplementasikan prinsip tiga pilar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan selama ini bisa dibilang hanya sekadar mitos.
Sektor minyak dan gas (migas) Indonesia saat ini didominasi perusahaan-perusahaan asing. Begitu pula sektor tambang.
Di sektor-sektor tersebut, Indonesia sulit dikatakan berdaulat. Indonesia belum bisa mandiri dan memegang kendali penuh atas pengelolaan sumber daya di sektor migas dan tambang.
Selain tak mandiri, pengelolaan sumber daya alam juga cenderung mengabaikan kelestarian. Pohon yang dibabat jauh lebih banyak dari yang ditanam. Sementara pejabat korup dengan mudahnya memberikan konsesi pemanfaatan hutan dan izin tambang tanpa memperdulikan daya dukung dan kelestarian lingkungan.
Pengelolaan sumber daya alam yang tak berdaulat dan tak berkelanjutan sudah pasti tidak akan bisa mensejahterakan masyarakat banyak. Bahkan, masyarakat di sekitar areal tambang dan hutan, banyak yang hidup miskin.
Sektor perikanan
Agar sumber daya alam bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka tak ada jalan lain kecuali mengimplementasikan prinsip tiga pilar: kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Tiga pilar inilah yang menjadi misi Susi Pudjiastuti tatkala dirinya didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja, guna mewujudkan visi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo yakni laut sebagai masa depan bangsa.
Seperti sektor-sektor lainnya, sektor perikanan Indonesia selama berpuluh-puluh tahun juga tidak dikelola secara berdaulat, tidak berkelanjutan, dan tidak mensejahterakan.
Perairan Indonesia dikuasai oleh kapal-kapal ikan asing atau eks asing baik yang berizin maupun yang ilegal. Sekitar 10.000 kapal asing dan eks asing berukuran raksasa berpesta pora mengeruk kekayaan laut Indonesia dari perairan Natuna hingga Arafura.
Sementara tuan rumahnya yakni nelayan-nelayan lokal yang menggunakan kapal-kapal kecil, tak berdaya dan hanya menjadi penonton.
Agar sumber daya alam bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka tak ada jalan lain kecuali mengimplementasikan prinsip tiga pilar: kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Tiga pilar inilah yang menjadi misi Susi Pudjiastuti tatkala dirinya didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja, guna mewujudkan visi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo yakni laut sebagai masa depan bangsa.
Seperti sektor-sektor lainnya, sektor perikanan Indonesia selama berpuluh-puluh tahun juga tidak dikelola secara berdaulat, tidak berkelanjutan, dan tidak mensejahterakan.
Perairan Indonesia dikuasai oleh kapal-kapal ikan asing atau eks asing baik yang berizin maupun yang ilegal. Sekitar 10.000 kapal asing dan eks asing berukuran raksasa berpesta pora mengeruk kekayaan laut Indonesia dari perairan Natuna hingga Arafura.
Sementara tuan rumahnya yakni nelayan-nelayan lokal yang menggunakan kapal-kapal kecil, tak berdaya dan hanya menjadi penonton.
Pemberantasan IUU fishing |
Di kawasan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timur misalnya, terjadi eksploitasi berlebihan terhadap ikan tuna, cakalang, tongkol, kembung, cumi-cumi, udang, lobster, kepiting, dan rajungan. Kondisi serupa juga terjadi di laut Jawa, sehingga ikan tuna, lobster, dan cumi-cumi makin langka ditemui di perairan tersebut.
Jika kondisi ini dibiarkan, International Union for Conservation of Nature memproyeksikan potensi tangkapan ikan di perairan Indonesia akan anjlok hingga 40 persen pada tahun 2050.
Bahkan, berdasarkan kajian UCSB dan Balitbang Kelautan dan Perikanan, jika eksploitasi berlebihan terus dibiarkan, biomassa ikan di perairan nusantara akan anjlok hingga 81 persen pada tahun 2035
Kapal-kapal asing dan eks asing juga menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga merusak ekosistem dan mengancam kelestarian stok ikan.
Penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, unreported, unregulated/IUU fishing) memenuhi perairan Indonesia, menginjak-injak kedaulatan dan mengabaikan kelestarian.
Laut yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan nelayan lokal, makin lama tak bisa lagi diandalkan sebagai mata pencaharian. Tangkapan nelayan lokal terus menurun akibat tak mampu bersaing dengan kapal-kapal besar milik asing. Ikan pun seolah hilang seiring rusaknya ekosistem dan terumbu karang.
Berdasarkan survei BPS periode 2003 - 2013, jumlah rumah tangga nelayan turun dari 1,6 juta menjadi hanya sekitar 800.000.
Selain itu, sebanyak 115 perusahaan pengolahan ikan nasional gulung tikar akibat tak mendapat pasokan ikan mengingat kapal-kapal illegal fishing langsung membawa ikan curiannya ke luar negeri.
Jika kondisi ini dibiarkan, International Union for Conservation of Nature memproyeksikan potensi tangkapan ikan di perairan Indonesia akan anjlok hingga 40 persen pada tahun 2050.
Bahkan, berdasarkan kajian UCSB dan Balitbang Kelautan dan Perikanan, jika eksploitasi berlebihan terus dibiarkan, biomassa ikan di perairan nusantara akan anjlok hingga 81 persen pada tahun 2035
Kapal-kapal asing dan eks asing juga menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga merusak ekosistem dan mengancam kelestarian stok ikan.
Penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, unreported, unregulated/IUU fishing) memenuhi perairan Indonesia, menginjak-injak kedaulatan dan mengabaikan kelestarian.
Laut yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan nelayan lokal, makin lama tak bisa lagi diandalkan sebagai mata pencaharian. Tangkapan nelayan lokal terus menurun akibat tak mampu bersaing dengan kapal-kapal besar milik asing. Ikan pun seolah hilang seiring rusaknya ekosistem dan terumbu karang.
Berdasarkan survei BPS periode 2003 - 2013, jumlah rumah tangga nelayan turun dari 1,6 juta menjadi hanya sekitar 800.000.
Selain itu, sebanyak 115 perusahaan pengolahan ikan nasional gulung tikar akibat tak mendapat pasokan ikan mengingat kapal-kapal illegal fishing langsung membawa ikan curiannya ke luar negeri.
Reformasi total
Untuk mewujudkan misi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, tentu saja IUU fishing, overfishing, dan penangkapan yang merusak (destructive fishing) harus diberantas.
Menteri Susi pun merumuskan secara matang dan komprehensif kebijakan reformasi total sektor perikanan termasuk target-target pencapaiannya.
Sebagai langkah awal pemberantasan IUU fishing, Menteri Susi menerbitkan Permen KP nomor 56 tahun 2014 tentang moratorium izin untuk kapal eks asing.
Kapal eks asing merupakan kapal yang awalnya dimiliki asing atau kapal yang diimpor dari negara lain yang kemudian benderanya diganti dengan bendera Indonesia sehingga menjadi kapal nasional.
Penggantian bendera tersebut terjadi pada tahun 2005, tatkala pemerintah mewajibkan semua kapal ikan harus berbendera Indonesia namun tetap membuka ijin impor kapal asing.
Kebijakan moratorium ini sebagai pintu masuk pemerintah untuk melakukan analisis dan evaluasi (anev) terhadap 1.132 kapal eks asing. Hasil anev menunjukkan seluruh kapal eks asing yang beroperasi di Indonesia terbukti melakukan illegal fishing mulai dari penggandaan izin, menggunakan alat tangkap trawl, tidak membayar pajak, hingga perbudakan, dan penyelundupan.
Menteri Susi juga menerbitkan Permen KP no 57/2014 tentang larangan alih muat (transshipment) di tengah laut. Kebijakan ini dikeluarkan lantaran transshipment banyak disalahgunakan dengan langsung membawa hasil tangkapan ikan ke luar negeri tanpa dilaporkan ke otoritas setempat.
Sejak transshipment dilarang, pasokan ikan ke industri pengolahan di sejumlah negara turun drastis. Ini membuktikan bahwa sebagian besar pasokan ikan ke negara-negara tetangga merupakan hasil illegal fishing dari perairan Indonesia.
Salah satu yang terpukul adalah Thailand. Berdasarkan data KKP, terdapat 156 kapal eks-asing, dengan mayoritas berasal dari Thailand, yang terdaftar di Pelabuhan Perikanan Ambon.
Kapal-kapal eks asing Thailand diketahui banyak menangkap ikan di sekitar Maluku dan Kepulauan Aru. Hasil tangkapan mereka di Maluku dan Aru sebagian besar disetor ke Thai Union Group PCL, perusahaan pengalengan tuna terbesar dunia yang bermarkas di Thailand.
Pendapatan Thai Union Group PCL dari penangkapan tuna mencapai 3,44 miliar dollar AS pada 2014. Setelah kapal eks asing tak diizinkan lagi beroperasi, pendapatan Thai Union turun drastis.
Tiongkok juga merasakan dampak kebijakan pemerintah Indonesia. Contohnya perusahaan perikanan asal Tiongkok bernama Pingtan Marine Enterprise yang diketahui mengerahkan 156 kapal untuk menangkap ikan di Merauke Papua.
Sejak kebijakan pemberantasan IUU fishing diluncurkan, pendapatan perusahaan tersebut anjlok drastis. Pada tahun 2014 pendapatan Pingtan mencapai 233,4 juta dollar AS. Namun, pada 2015 atau setelah rezim anti IUU fishing, pendapatannya merosot 74 persen menjadi hanya 60,7 juta dollar AS.
Filipina juga merasakan hal yang sama. Lebih dari 50 persen perusahaan perikanan di Pelabuhan General Santos Filipina bangkrut akibat berkurangnya pasokan ikan dari Indonesia. Perusahaan cukup besar yang tutup warung antara lain RD Tuna Ventures Inc, San Andres Fishing Industries Inc, Santa Monica Inc, Pamalario Inc, Starcky Ventures Inc, Virgo Inc, dan Kemball Inc.
Selain itu, lebih dari 100 perusahaan perikanan di Filipina anjlok usahanya dan terancam bangkrut. Sebelum rezim anti IUU fishing, perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan pasokan ikan dari Bitung atau melalui transshipment. Ikan yang didaratkan di Pelabuhan Bitung hanya sebagian kecil, adapun sebagian besarnya dibawa langsung ke General Santos.
Untuk mewujudkan misi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, tentu saja IUU fishing, overfishing, dan penangkapan yang merusak (destructive fishing) harus diberantas.
Menteri Susi pun merumuskan secara matang dan komprehensif kebijakan reformasi total sektor perikanan termasuk target-target pencapaiannya.
Sebagai langkah awal pemberantasan IUU fishing, Menteri Susi menerbitkan Permen KP nomor 56 tahun 2014 tentang moratorium izin untuk kapal eks asing.
Kapal eks asing merupakan kapal yang awalnya dimiliki asing atau kapal yang diimpor dari negara lain yang kemudian benderanya diganti dengan bendera Indonesia sehingga menjadi kapal nasional.
Penggantian bendera tersebut terjadi pada tahun 2005, tatkala pemerintah mewajibkan semua kapal ikan harus berbendera Indonesia namun tetap membuka ijin impor kapal asing.
Kebijakan moratorium ini sebagai pintu masuk pemerintah untuk melakukan analisis dan evaluasi (anev) terhadap 1.132 kapal eks asing. Hasil anev menunjukkan seluruh kapal eks asing yang beroperasi di Indonesia terbukti melakukan illegal fishing mulai dari penggandaan izin, menggunakan alat tangkap trawl, tidak membayar pajak, hingga perbudakan, dan penyelundupan.
Menteri Susi juga menerbitkan Permen KP no 57/2014 tentang larangan alih muat (transshipment) di tengah laut. Kebijakan ini dikeluarkan lantaran transshipment banyak disalahgunakan dengan langsung membawa hasil tangkapan ikan ke luar negeri tanpa dilaporkan ke otoritas setempat.
Sejak transshipment dilarang, pasokan ikan ke industri pengolahan di sejumlah negara turun drastis. Ini membuktikan bahwa sebagian besar pasokan ikan ke negara-negara tetangga merupakan hasil illegal fishing dari perairan Indonesia.
Salah satu yang terpukul adalah Thailand. Berdasarkan data KKP, terdapat 156 kapal eks-asing, dengan mayoritas berasal dari Thailand, yang terdaftar di Pelabuhan Perikanan Ambon.
Kapal-kapal eks asing Thailand diketahui banyak menangkap ikan di sekitar Maluku dan Kepulauan Aru. Hasil tangkapan mereka di Maluku dan Aru sebagian besar disetor ke Thai Union Group PCL, perusahaan pengalengan tuna terbesar dunia yang bermarkas di Thailand.
Pendapatan Thai Union Group PCL dari penangkapan tuna mencapai 3,44 miliar dollar AS pada 2014. Setelah kapal eks asing tak diizinkan lagi beroperasi, pendapatan Thai Union turun drastis.
Tiongkok juga merasakan dampak kebijakan pemerintah Indonesia. Contohnya perusahaan perikanan asal Tiongkok bernama Pingtan Marine Enterprise yang diketahui mengerahkan 156 kapal untuk menangkap ikan di Merauke Papua.
Sejak kebijakan pemberantasan IUU fishing diluncurkan, pendapatan perusahaan tersebut anjlok drastis. Pada tahun 2014 pendapatan Pingtan mencapai 233,4 juta dollar AS. Namun, pada 2015 atau setelah rezim anti IUU fishing, pendapatannya merosot 74 persen menjadi hanya 60,7 juta dollar AS.
Filipina juga merasakan hal yang sama. Lebih dari 50 persen perusahaan perikanan di Pelabuhan General Santos Filipina bangkrut akibat berkurangnya pasokan ikan dari Indonesia. Perusahaan cukup besar yang tutup warung antara lain RD Tuna Ventures Inc, San Andres Fishing Industries Inc, Santa Monica Inc, Pamalario Inc, Starcky Ventures Inc, Virgo Inc, dan Kemball Inc.
Selain itu, lebih dari 100 perusahaan perikanan di Filipina anjlok usahanya dan terancam bangkrut. Sebelum rezim anti IUU fishing, perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan pasokan ikan dari Bitung atau melalui transshipment. Ikan yang didaratkan di Pelabuhan Bitung hanya sebagian kecil, adapun sebagian besarnya dibawa langsung ke General Santos.
Diplomasi
Selain menerbitkan aturan, Menteri Susi juga melakukan strategi lain untuk memberantas illegal fishing.
Dengan dukungan penuh Presiden Jokowi, Susi menegakkan hukum secara tegas di laut termasuk menenggelamkan kapal-kapal ikan asing yang kedapatan melakukan illegal fishing.
Pembakaran dan penenggelaman kapal illegal fishing asing bukanlah kebijakan baru karena praktik itu telah diatur dalam pasal 69 ayat 4 UU no 45/2009 tentang perikanan. Namun, kebijakan ini jarang sekali dilakukan sebelum era Menteri Susi dengan alasan berpotensi merusak hubungan antarnegara.
Agar tak menimbulkan salah pengertian, Susi pun dengan cerdik mengumpulkan dan mengajak makan para duta besar negara-negara tetangga yang nelayannya banyak melakukan illegal fishing di Indonesia. Negara-negara itu antara lain Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan China.
Susi meminta mereka untuk memberitahu para nelayan di negaranya masing-masing agar tak lagi melakukan illegal fishing di perairan Indonesia. Sebab, Indonesia kini akan menegakkan hukum secara tegas dan tak ragu-ragu menenggelamkan kapal ikan yang terbukti melanggar hukum.
Para duta besar itu pun akhirnya memahami kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan Indonesia dalam memberantas illegal fishing.
Susi pun sadar, pemberantasan illegal fishing berpotensi menimbulkan gejolak di dalam negeri mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat, aparat, dan birokrat yang menjadi backing atau pelindung kapal-kapal illegal fishing.
Susi pun mengumumkan rekonsiliasi nasional di sektor perikanan. “Apa yang terjadi sebelumnya, kita lupakan. Namun ke depan, kita sama-sama memberantas illegal fishing. Aparat dan birokrat tak boleh lagi menjadi backing kapal-kapal illegal fishing,” katanya.
Pengusaha-pengusaha perikanan nasional yang bekerja sama dengan asing juga diingatkan Susi agar tak lagi melakukan illegal fishing kecuali jika ingin kapalnya ditenggelamkan dan pelakunya dipidanakan.
Selain menerbitkan aturan, Menteri Susi juga melakukan strategi lain untuk memberantas illegal fishing.
Dengan dukungan penuh Presiden Jokowi, Susi menegakkan hukum secara tegas di laut termasuk menenggelamkan kapal-kapal ikan asing yang kedapatan melakukan illegal fishing.
Pembakaran dan penenggelaman kapal illegal fishing asing bukanlah kebijakan baru karena praktik itu telah diatur dalam pasal 69 ayat 4 UU no 45/2009 tentang perikanan. Namun, kebijakan ini jarang sekali dilakukan sebelum era Menteri Susi dengan alasan berpotensi merusak hubungan antarnegara.
Agar tak menimbulkan salah pengertian, Susi pun dengan cerdik mengumpulkan dan mengajak makan para duta besar negara-negara tetangga yang nelayannya banyak melakukan illegal fishing di Indonesia. Negara-negara itu antara lain Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan China.
Susi meminta mereka untuk memberitahu para nelayan di negaranya masing-masing agar tak lagi melakukan illegal fishing di perairan Indonesia. Sebab, Indonesia kini akan menegakkan hukum secara tegas dan tak ragu-ragu menenggelamkan kapal ikan yang terbukti melanggar hukum.
Para duta besar itu pun akhirnya memahami kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan Indonesia dalam memberantas illegal fishing.
Susi pun sadar, pemberantasan illegal fishing berpotensi menimbulkan gejolak di dalam negeri mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat, aparat, dan birokrat yang menjadi backing atau pelindung kapal-kapal illegal fishing.
Susi pun mengumumkan rekonsiliasi nasional di sektor perikanan. “Apa yang terjadi sebelumnya, kita lupakan. Namun ke depan, kita sama-sama memberantas illegal fishing. Aparat dan birokrat tak boleh lagi menjadi backing kapal-kapal illegal fishing,” katanya.
Pengusaha-pengusaha perikanan nasional yang bekerja sama dengan asing juga diingatkan Susi agar tak lagi melakukan illegal fishing kecuali jika ingin kapalnya ditenggelamkan dan pelakunya dipidanakan.
Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu(Dok KKP) |
Presiden Jokowi pun mengesahkan Perpres No. 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Illegal Fishing) pada tanggal 19 Oktober 2015 guna mendukung upaya peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang perikanan khususnya penangkapan ikan secara ilegal secara terpadu.
Satuan tugas tersebut dikenal dengan nama “Satgas 115”. Satgas 115 merupakan penyelenggara penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system), yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, BAKAMLA dan Kejaksaan Republik Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong sinergi dan melaksanakan fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.
Satgas 115 berada di bawah Presiden dengan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Komandan Satgas. Hingga kini sudah 317 kapal illegal fishing ditenggelamkan Satgas 115.
Susi meyakini penenggelaman kapal merupakan kebijakan yang efektif untuk memberantas illegal fishing.
"Selama armada kapal pengawas kita masih kurang, maka satu-satunya cara untuk memagari perairan kita dari pencurian ikan adalah menegakkan hukum secara tegas sehingga bisa memberikan efek jera dan efek gentar kepada para pelaku illegal fishing," kata Susi.
Terbukti apa yang dikatakan Susi benar. Cerita penenggelaman kapal yang dilakukan pemerintah Indonesia pun bergema ke seluruh dunia. Para pelaku illegal fishing di seluruh dunia bergidik. Mereka tak menyangka, Indonesia benar-benar berani menenggelamkan kapal.
Perairan Indonesia akhirnya menjadi salah satu yang paling ditakuti. Kendati demikian, dunia tidak marah kepada Indonesia. Mereka justru respek dengan apa yang dilakukan Menteri Susi.
Sebab, memang seperti itulah tugas pemerintah yang benar, melakukan pengaturan di laut demi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan sektor perikanan.
Namun, peraturan-peraturan yang telah diterbitkan sejatinya belum benar-benar mengunci praktik IUU fishing. Kebijakan moratorium kapal eks asing telah habis masa berlakunya sehingga dikhawatirkan suatu saat, oleh rezim yang lain, kapal eks asing akan diizinkan kembali beroperasi.
Untuk menutup rapat-rapat kapal asing dan eks asing beroperasi kembali di perairan Indonesia, Menteri Susi pun mengusulkan larangan investasi asing pada usaha perikanan tangkap.
Usulan tersebut diterima Presiden Jokowi yang kemudian dalam Perpres 44/2016 tentang daftar negatif investasi asing, usaha penangkapan ikan dinyatakan tertutup untuk asing. Dengan kata lain, modal usaha penangkapan ikan 100 persen harus berasal dari dalam negeri.
Sebaliknya, untuk menarik masuk investasi, asing diperbolehkan berinvestasi hingga 100 persen pada usaha pengolahan ikan.
Dengan rangkaian kebijakan tersebut, sektor perikanan Indonesia pun menjadi berdaulat dan berkelanjutan. Tegaknya pilar kedaulatan dan keberlanjutan otomatis akan melahirkan pilar kesejahteraan.
Satuan tugas tersebut dikenal dengan nama “Satgas 115”. Satgas 115 merupakan penyelenggara penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system), yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, BAKAMLA dan Kejaksaan Republik Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong sinergi dan melaksanakan fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.
Satgas 115 berada di bawah Presiden dengan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Komandan Satgas. Hingga kini sudah 317 kapal illegal fishing ditenggelamkan Satgas 115.
Susi meyakini penenggelaman kapal merupakan kebijakan yang efektif untuk memberantas illegal fishing.
"Selama armada kapal pengawas kita masih kurang, maka satu-satunya cara untuk memagari perairan kita dari pencurian ikan adalah menegakkan hukum secara tegas sehingga bisa memberikan efek jera dan efek gentar kepada para pelaku illegal fishing," kata Susi.
Terbukti apa yang dikatakan Susi benar. Cerita penenggelaman kapal yang dilakukan pemerintah Indonesia pun bergema ke seluruh dunia. Para pelaku illegal fishing di seluruh dunia bergidik. Mereka tak menyangka, Indonesia benar-benar berani menenggelamkan kapal.
Perairan Indonesia akhirnya menjadi salah satu yang paling ditakuti. Kendati demikian, dunia tidak marah kepada Indonesia. Mereka justru respek dengan apa yang dilakukan Menteri Susi.
Sebab, memang seperti itulah tugas pemerintah yang benar, melakukan pengaturan di laut demi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan sektor perikanan.
Namun, peraturan-peraturan yang telah diterbitkan sejatinya belum benar-benar mengunci praktik IUU fishing. Kebijakan moratorium kapal eks asing telah habis masa berlakunya sehingga dikhawatirkan suatu saat, oleh rezim yang lain, kapal eks asing akan diizinkan kembali beroperasi.
Untuk menutup rapat-rapat kapal asing dan eks asing beroperasi kembali di perairan Indonesia, Menteri Susi pun mengusulkan larangan investasi asing pada usaha perikanan tangkap.
Usulan tersebut diterima Presiden Jokowi yang kemudian dalam Perpres 44/2016 tentang daftar negatif investasi asing, usaha penangkapan ikan dinyatakan tertutup untuk asing. Dengan kata lain, modal usaha penangkapan ikan 100 persen harus berasal dari dalam negeri.
Sebaliknya, untuk menarik masuk investasi, asing diperbolehkan berinvestasi hingga 100 persen pada usaha pengolahan ikan.
Dengan rangkaian kebijakan tersebut, sektor perikanan Indonesia pun menjadi berdaulat dan berkelanjutan. Tegaknya pilar kedaulatan dan keberlanjutan otomatis akan melahirkan pilar kesejahteraan.
Perekonomian tumbuh
Pemberantasan IUU fishing telah membuat produksi perikanan tangkap laut nasional melonjak drastis selama semester I 2017.
Selama periode tersebut, hasil tangkapan laut mencapai 3,35 juta ton, naik 11,3 persen dibandingkan periode sama tahun 2016 yang sebesar 3,01 juta ton, berdasarkan data dari Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pertumbuhan produksi tangkapan laut sebesar 11,3 persen merupakan yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Hasil tangkapan laut meliputi antara lain berbagai jenis ikan, udang, kepiting, rajungan, dan cumi-cumi.
Lonjakan produksi tangkapan laut mendorong Produksi Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan atas harga berlaku tumbuh 11 persen dari Rp 152,91 triliun pada semester I 2016 menjadi 169,76 triliun pada semester I 2017, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Adapun berdasarkan PDB harga konstan, sektor perikanan tumbuh 6,8 persen.
Seiring melonjaknya produksi ikan yang ditangkap, kesejahteraan nelayan pun kian meningkat. Hal itu terlihat dari indikator nilai tukar nelayan (NTN) maupun nilai tukar usaha nelayan (NTUN) yang terus membaik secara signifikan.
Susi mengatakan, meningkatnya produksi tangkapan laut yang tercatat dari nelayan-nelayan nasional akan menguntungkan keuangan negara baik berupa pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, PNBP KKP pada 2016 mencapai Rp 462 miliar, tertinggi dalam sejarah. Seiring hasil tangkapan laut yang melonjak, PNBP KKP pada 2017 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2016.
Penerimaan pajak dari sektor perikanan pun diperkirakan akan meningkat. Pada semester I 2016, penerimaan pajak penghasilan (PPh) sektor perikanan mencapai Rp 216,7 miliar, lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun 2015 yang sebesar Rp Rp 210,6 miliar.
“Pemberantasan IUU fishing tidak hanya menguntungkan negara dari segi penerimaan pajak dan PNBP, tapi juga menyelamatkan uang negara triliunan rupiah dari bbm bersubsidi yang banyak dipakai kapal illegal fishing,” ujar Susi.
Pemberantasan IUU fishing telah membuat produksi perikanan tangkap laut nasional melonjak drastis selama semester I 2017.
Selama periode tersebut, hasil tangkapan laut mencapai 3,35 juta ton, naik 11,3 persen dibandingkan periode sama tahun 2016 yang sebesar 3,01 juta ton, berdasarkan data dari Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pertumbuhan produksi tangkapan laut sebesar 11,3 persen merupakan yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Hasil tangkapan laut meliputi antara lain berbagai jenis ikan, udang, kepiting, rajungan, dan cumi-cumi.
Lonjakan produksi tangkapan laut mendorong Produksi Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan atas harga berlaku tumbuh 11 persen dari Rp 152,91 triliun pada semester I 2016 menjadi 169,76 triliun pada semester I 2017, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Adapun berdasarkan PDB harga konstan, sektor perikanan tumbuh 6,8 persen.
Seiring melonjaknya produksi ikan yang ditangkap, kesejahteraan nelayan pun kian meningkat. Hal itu terlihat dari indikator nilai tukar nelayan (NTN) maupun nilai tukar usaha nelayan (NTUN) yang terus membaik secara signifikan.
Susi mengatakan, meningkatnya produksi tangkapan laut yang tercatat dari nelayan-nelayan nasional akan menguntungkan keuangan negara baik berupa pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, PNBP KKP pada 2016 mencapai Rp 462 miliar, tertinggi dalam sejarah. Seiring hasil tangkapan laut yang melonjak, PNBP KKP pada 2017 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2016.
Penerimaan pajak dari sektor perikanan pun diperkirakan akan meningkat. Pada semester I 2016, penerimaan pajak penghasilan (PPh) sektor perikanan mencapai Rp 216,7 miliar, lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun 2015 yang sebesar Rp Rp 210,6 miliar.
“Pemberantasan IUU fishing tidak hanya menguntungkan negara dari segi penerimaan pajak dan PNBP, tapi juga menyelamatkan uang negara triliunan rupiah dari bbm bersubsidi yang banyak dipakai kapal illegal fishing,” ujar Susi.
Sistem logistik ikan(Dok KKP) |
Menurut Susi, pemberantasan IUU fishing juga membuat stok tangkapan ikan lestari (maximum suistainable yield/MSY) meningkat drastis dari 7,31 ton per tahun pada 2013 menjadi 12,54 juta ton saat ini.
Perikanan pesisir
Untuk mewujudkan pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, Menteri Susi tak hanya memberantas IUU fishing, overfishing, dan destructive fishing.
Ia juga merekonstruksi kembali sistem perikanan tangkap yang cocok diterapkan di Indonesia. Menurut pemilik maskapai Susi Air itu, laut-laut di Indonesia berada di antara pulau-pulau sehingga cenderung sempit dan dangkal.
Karena itu, merupakan hal yang salah kaprah jika kapal-kapal ikan berukuran besar diizinkan menangkap ikan di perairan Indonesia. “Jika kapal-kapal besar diperbolehkan, maka dalam waktu singkat, ikan di perairan Indonesia akan habis,” katanya.
Menurut Susi, kapal-kapal besar hanya cocok digunakan untuk menangkap ikan di laut lepas (high sea) yang luas dan dalam, seperti yang dipraktikkan beberapa negara seperti Jepang, China, dan Spanyol.
Indonesia tak perlu memiliki kapal-kapal besar untuk berburu ikan hingga ke laut lepas karena di pesisir pun ikan tak akan pernah habis sepanjang penangkapannya tidak berlebih dan merusak.
Jadi kata Susi, sistem perikanan tangkap yang cocok untuk Indonesia adalah perikanan pesisir dengan dominasi para nelayan yang menggunakan kapal-kapal kecil. Kapal-kapal ikan berukuran sedang tetap diperlukan namun harus dibatasi jumlahnya.
Konsep tersebut diyakini Susi akan melestarikan stok ikan sehingga kekayaan laut bisa diwariskan ke anak cucu.
Menurut Susi, optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan bukanlah dengan menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan kapal-kapal besar.
Optimalisasi adalah bagaimana agar tangkapan nelayan tetap terjaga kualitasnya dan bisa menggerakkan ekonomi di daerah bersangkutan. Dengan demikian, industri perikanan tak hanya dikuasai segelintir pengusaha, namun dapat digeluti oleh siapa saja yang ingin berkecimpung dalam bisnis perikanan.
Logistik ikan
Untuk mengoptimalkan dan mendorong industri perikanan, Susi pun membuat program Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) dan sistem logistik ikan.
SKPT merupakan pembangunan pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan dengan sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak utamanya.
Tak hanya mendorong industri perikanan di pulau-pulau kecil, konsep SKPT juga merupakan upaya membangun Indonesia dari pinggiran seperti yang termaktub dalam Nawacita serta menjadikan daerah-daerah terluar sebagai beranda depan Indonesia.
Konsep SKPT adalah mengintegrasikan rantai nilai bisnis perikanan dalam satu lokasi. Dengan demikian, tahapan mulai dari pendaratan ikan, pengolahan ikan, hingga pemasarannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
SKPT menyediakan seluruh sarana dan prasarana bisnis perikanan seperti pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, coldstorage, tempat perbaikan kapal, penyediaan bbm dan es, karantina untuk ekspor hingga tempat penginapan untuk nelayan.
Menurut Susi, konsep SKPT juga bertujuan menciptakan sistem logistik ikan yang lebih efisien karena dekat dengan pasar ekspor. Dalam hal ini, daerah SKPT akan langsung menjadi pintu gerbang (gateway) untuk ekspor.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ditetapkanlah 12 pulau terluar sebagai SKPT, yakni Natuna, Saumlaki, Merauke, Mentawai, Nunukan, Talaud, Morotai, Biak Numfor, Mimika, Rote Ndao, Sumba Timur, dan Sabang.
Dari Saumlaki misalnya, ikan bisa langsung diekspor ke Darwin Australia, yang dengan pesawat hanya memakan waktu sekitar dua jam. Ini lebih efisien ketimbang ikan dibawa dulu ke Jakarta atau Surabaya baru kemudian diekspor atau dijual untuk kebutuhan domestik.
Adapun dari Natuna, ikan bisa langsung diekspor ke Hongkong, sementara dari Morotai atau Biak, ikan langsung diekspor ke Jepang melalui Palau.
Ekspor hasil perikanan dari SKPT ke negara terdekat diharapkan akan menjadi “sirip” yang menggerakkan perekonomian di wilayah-wilayah perbatasan.
Matang dan sistematis
Banyak pihak menilai, strategi kebijakan reformasi sektor perikanan yang dilakukan Menteri Susi sangat matang, sistematis, dan komprehensif. Strategi ini akan benar-benar menjadikan sektor perikanan Indonesia berdaulat, berkelanjutan, dan mensejahterakan.
Ternyata, dibalik sikapnya yang terkesan spontan dan blak-blakan, Susi adalah pemikir yang merencanakan segala sesuatunya dengan matang, detil, cerdas, dan penuh nilai-nilai.
Di tangan Susi, tiga pilar itu kini tak lagi sekadar mitos
Perikanan pesisir
Untuk mewujudkan pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, Menteri Susi tak hanya memberantas IUU fishing, overfishing, dan destructive fishing.
Ia juga merekonstruksi kembali sistem perikanan tangkap yang cocok diterapkan di Indonesia. Menurut pemilik maskapai Susi Air itu, laut-laut di Indonesia berada di antara pulau-pulau sehingga cenderung sempit dan dangkal.
Karena itu, merupakan hal yang salah kaprah jika kapal-kapal ikan berukuran besar diizinkan menangkap ikan di perairan Indonesia. “Jika kapal-kapal besar diperbolehkan, maka dalam waktu singkat, ikan di perairan Indonesia akan habis,” katanya.
Menurut Susi, kapal-kapal besar hanya cocok digunakan untuk menangkap ikan di laut lepas (high sea) yang luas dan dalam, seperti yang dipraktikkan beberapa negara seperti Jepang, China, dan Spanyol.
Indonesia tak perlu memiliki kapal-kapal besar untuk berburu ikan hingga ke laut lepas karena di pesisir pun ikan tak akan pernah habis sepanjang penangkapannya tidak berlebih dan merusak.
Jadi kata Susi, sistem perikanan tangkap yang cocok untuk Indonesia adalah perikanan pesisir dengan dominasi para nelayan yang menggunakan kapal-kapal kecil. Kapal-kapal ikan berukuran sedang tetap diperlukan namun harus dibatasi jumlahnya.
Konsep tersebut diyakini Susi akan melestarikan stok ikan sehingga kekayaan laut bisa diwariskan ke anak cucu.
Menurut Susi, optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan bukanlah dengan menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan kapal-kapal besar.
Optimalisasi adalah bagaimana agar tangkapan nelayan tetap terjaga kualitasnya dan bisa menggerakkan ekonomi di daerah bersangkutan. Dengan demikian, industri perikanan tak hanya dikuasai segelintir pengusaha, namun dapat digeluti oleh siapa saja yang ingin berkecimpung dalam bisnis perikanan.
Logistik ikan
Untuk mengoptimalkan dan mendorong industri perikanan, Susi pun membuat program Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) dan sistem logistik ikan.
SKPT merupakan pembangunan pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan dengan sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak utamanya.
Tak hanya mendorong industri perikanan di pulau-pulau kecil, konsep SKPT juga merupakan upaya membangun Indonesia dari pinggiran seperti yang termaktub dalam Nawacita serta menjadikan daerah-daerah terluar sebagai beranda depan Indonesia.
Konsep SKPT adalah mengintegrasikan rantai nilai bisnis perikanan dalam satu lokasi. Dengan demikian, tahapan mulai dari pendaratan ikan, pengolahan ikan, hingga pemasarannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
SKPT menyediakan seluruh sarana dan prasarana bisnis perikanan seperti pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, coldstorage, tempat perbaikan kapal, penyediaan bbm dan es, karantina untuk ekspor hingga tempat penginapan untuk nelayan.
Menurut Susi, konsep SKPT juga bertujuan menciptakan sistem logistik ikan yang lebih efisien karena dekat dengan pasar ekspor. Dalam hal ini, daerah SKPT akan langsung menjadi pintu gerbang (gateway) untuk ekspor.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ditetapkanlah 12 pulau terluar sebagai SKPT, yakni Natuna, Saumlaki, Merauke, Mentawai, Nunukan, Talaud, Morotai, Biak Numfor, Mimika, Rote Ndao, Sumba Timur, dan Sabang.
Dari Saumlaki misalnya, ikan bisa langsung diekspor ke Darwin Australia, yang dengan pesawat hanya memakan waktu sekitar dua jam. Ini lebih efisien ketimbang ikan dibawa dulu ke Jakarta atau Surabaya baru kemudian diekspor atau dijual untuk kebutuhan domestik.
Adapun dari Natuna, ikan bisa langsung diekspor ke Hongkong, sementara dari Morotai atau Biak, ikan langsung diekspor ke Jepang melalui Palau.
Ekspor hasil perikanan dari SKPT ke negara terdekat diharapkan akan menjadi “sirip” yang menggerakkan perekonomian di wilayah-wilayah perbatasan.
Matang dan sistematis
Banyak pihak menilai, strategi kebijakan reformasi sektor perikanan yang dilakukan Menteri Susi sangat matang, sistematis, dan komprehensif. Strategi ini akan benar-benar menjadikan sektor perikanan Indonesia berdaulat, berkelanjutan, dan mensejahterakan.
Ternyata, dibalik sikapnya yang terkesan spontan dan blak-blakan, Susi adalah pemikir yang merencanakan segala sesuatunya dengan matang, detil, cerdas, dan penuh nilai-nilai.
Di tangan Susi, tiga pilar itu kini tak lagi sekadar mitos
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di kompas.com dengan judul susi dan tiga pilar yang tak sekedar mitos
Editor: Muhammad Fajar Marta