Bukti Kekayaan Nusantara, 2 Spesies Reptil Baru Ditemukan di Sumatra
Indonesia tidak bisa dimungkiri memiliki keragaman hayati yang luar
biasa. Penelitian demi penelitian semakin mengungkap spesies-spesies
yang sudah ada jutaan tahun lamanya di nusantara, tetapi tidak dikenal
dunia.
Bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, Broward College, dan
University of Texas at Arlington; herpetolog dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia ( LIPI) , Dr Amir Hamidy, M Sc, menemukan dua spesies reptil baru, yaitu ular Lycodon sidiki dan bunglon Pseudocalotes baliomus.
Diwawancarai oleh Kompas.com via telepon pada hari Jumat (17/6/2017), Amir berkata bahwa selayaknya penemuan spesies baru lainnya, penemuan L sidiki dan P Baliomus ini akan menambah kekayaan Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa sebuah negara tidak hanya bisa dibangun dengan
bahan tambang dan minyak saja, tetapi juga dengan keragaman hayatinya.
“Jadi, ini berjalan selaras. Kalau kekayaan hayatinya naik, maka sumber
daya dan prospek biologisnya pun naik,” ujarnya.
Setelah ditemukan dan diidentifikasi, kedua reptil
tersebut juga akan digali potensinya untuk dijadikan landasan
pengelolaan lebih lanjut oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS).
Lycodon sidiki
Ular L sidiki ditemukan
oleh Amir dan para peneliti dari University of Texas at Arlington dan
Universitas Brawijaya dalam survei fauna herpetologi pulau Jawa dan
Sumatra yang berlangsung dari tahun 2013 hingga 2016. Melalui studi
morfologi dan molekuler, mereka mengonfirmasikan bahwa L sidiki merupakan spesies baru yang belum ditemukan dan diberi nama sebelumnya.
Mereka pun memberikan nama Lycodon sidiki kepada ular
tersebut sebagai penghargaan terhadap peneliti senior herpetologi Irvan
Sidik. “Sebenarnya, bisa saja memakai nama presiden, tetapi saya
berharap untuk memberikan penghargaan kepada herpetolog yang sedikit
jumlahnya dan jarang diapresiasi,” kata Amir.
Ular L sidiki yang tinggal di wilayah Aceh adalah hewan nokturnal yang memakan katak, cicak, dan sebagainya. Ular ini memiliki panjang yang sekitar 70 sentimeter dan penampilan yang berwarna hitam dengan lingkaran putih.
Jika dilihat oleh mata awam, L sidiki yang tidak berbisa hampir tidak bisa dibedakan dari ular weling (Bungarus candidus) yang berbisa. Namun, hewan ini tidak memiliki sisik besar di area punggung seperti ular weling dan alih-alih memiliki taring di depan seperti ular berbisa, taring L sidiki berada di belakang mulutnya.
Amir menuturkan bahwa mimicry ,seperti yang dilakukan oleh L sidiki, ini merupakan bagian dari evolusi agar dia juga ditakuti seperti ular weling. Karena melakukan mimicry, perilaku L sidiki pun menjadi mirip ular weling dan tidak takut ketika didekati oleh manusia.
Pseudocalotes baliomus
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya keberadaan P baliomus
diketahui oleh manusia. Amir bercerita bahwa Salomon Muller yang bekerja
untuk pemerintah Hindia Belanda sudah pernah menemukan bunglon tersebut
bersama satu spesimen lagi pada tahun 1830-an. Dia membawanya ke
Leiden, Belanda.
Oleh karena itu, ketika Amir bersama para peneliti lainnya dari
Universitas Brawijaya, Broward College, dan University of Texas at
Arlington menemukan spesimen tersebut di hutan yang berada di samping
jalan Tapan-Sungai Penuh, Sumatra Barat, dalam survei fauna herpetologi
di Sumatra pada bulan Mei dan Juni 2013, mereka membawanya ke Leiden
untuk dibandingkan.
Ternyata, bunglon yang ditemukan oleh Muller sekitar 180 tahun yang lalu memang P baliomus, tetapi dia tidak mengidentifikasikan dan memberinya nama.
Kini, bunglon tersebut telah dinamakan Pseudocalotes baliomus yang berasal dari bahasa Yunani untuk titik (balios) dan putih (omos). Sebab, hewan ini dapat dikenali dengan titik putih yang ada di pundaknya, bahkan ketika berubah warna sekalipun.
Sumber: sains.kompas.com